Laily Dwi Arsyianti
Sekretaris Departemen Ilmu Ekonomi Syariah, FEM, IPB
Keluarga merupakan bagian terkecil dari kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia terbiasa hidup dan berkehidupan dengan keluarga bahkan sampai anak sudah menikah dan mempunyai anak (cucu). Subjektivitas terhadap keluarga menjadi meningkat seiring dengan meningkatnya kedekatan hubungan dengan keluarga.
Interaksi sosial seperti social support merupakan salah satu penentu subjective well-being. Sementara itu, salah satu aspek dari social support adalah kedekatan sosial, yaitu intensitas dengan jaringan sosial di sekitarnya atau social embeddedness(Kamaliya, 2016).
Dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga, kerabat dekat, dan tetangga inilah kemudian mampu membentuk pola kehidupan keuangan seseorang. Perasaan aman dan nyaman di dekat keluarga dapat melenakan seseorang dari beraktivitas produktif dan mandiri, sehingga tingkat ketergantungan menjadi tinggi.
Terlebih lagi ketika hal ini terjadi pada lingkaran masyarakat menengah ke bawah. Optimisme menghadapi keadaan di masa mendatang dipengaruhi oleh kedekatan seseorang dengan social support-nya.
Tidak heran ketika kemudian Bank Dunia (2015) merilis data bahwa sebagian besar masyarakat yang berada pada golongan piramida ekonomi terbawah mendapatkan dana eksternal dari keluarga dan kerabat dekat, tepatnya sebesar 43.77 persen. Hanya sebagian kecil dari populasi ini yang mendapatkan dana eksternal dari lembaga keuangan formal.
Kemudahan akses yang diperoleh seseorang dari keluarga dan kerabat dekatnya merupakan salah satu alasan dari mana dana eksternal tersebut diperoleh. Alasan lain adalah kemudahan persyaratan, dengan kemungkinan yang sangat kecil terdapat persyaratan formal untuk memperoleh dana eksternal dari keluarga dan kerabat dekat. Demikian pula dengan kemudahan pengawasan.
Hal ini pula yang mungkin mengantarkan portofolio asuransi kita masih rendah. Rasa aman dan nyaman berada dalam dukungan keluarga, melemahkan keinginan masyarakat untuk berasuransi karena merasa ada yang akan menanggung jika di kemudian hari terjadi kerugian atau kecelakaan. Jika dibandingkan dengan perusahaan asuransi, maka masyarakat lebih mempercayakan pertanggungan kepada keluarga dan kerabat dekatnya, meskipun tanpa kontribusi premi apapun.
World Giving Index (WGI) 2018
Pada sisi lain, Charities Aid Foundation (CAF) merilis World Giving Index (WGI) 2018 dengan Indonesia menempati posisi pertama untuk pertama kali, menggeser Myanmar yang sekarang menduduki posisi ke-sembilan.
WGI meneliti tiga aspek utama, yaitu menolong orang asing atau seseorang yang tidak diketahui, menginfakkan uang, serta menyisihkan waktu sebagai volunteer dari suatu organisasi. Posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Australia dan Selandia Baru. Dari 146 negara yang diteliti, hanya 10 negara maju yang menempati 20 posisi teratas, sementara 10 teratas lainnya ditempati oleh negara berkembang termasuk Indonesia.
Keunggulan Indonesia didominasi oleh infak dan kegiatan volunteer. Sementara Australia dan Selandia Baru unggul pada kegiatan berinfak dan menolong orang asing. Pada lima tahun terakhir, posisi ke-20 negara teratas tidak banyak berubah dan dikuasai oleh negara yang itu saja, yaitu: Indonesia, Myanmar, Amerika, Selandia Baru, Australia, Irlandia, Kanada, Inggris, Kenya, Srilanka, Belanda, Uni Emirat Arab, Malaysia, Bhutan, Malta, Norwegia, Islandia, Singapura, Jerman, dan Denmark.
Subjective well-being masyarakat Indonesia tumbuh dimulai sejak tradisi terdahulu sebagaimana sesuai dengan syariah bahwa jangan sampai kita tertidur lelap jika kita tidak membagikan makanan yang dihidangkan di rumah sementara tetangga menderita kelaparan.
Kedekatan dengan tetangga merupakan suatu asset penting bagi masyarakat. Gotong royong dan bekerjasama dalam berbagai kepanitiaan seperti 17 Agustusan, Lebaran hajian, dan kepanitiaan lainnya menjadikan subjective well-being masyarakat Indonesia kuat karena kedekatan yang terbina selain dengan keluarga.
Kondisi masyarakat Indonesia yang demikian dapat menjadi peluang bagi industri keuangan syariah Indonesia. Konsep tolong menolong dari dana tabarru’ seharusnya dapat menjadi kekuatan asuransi syariah karena konsep ini hanya ada dalam asuransi syariah dan tidak ada dalam skema transaksi dengan lembaga keuangan komersial lainnya.
Kekuatan instrumen keuangan dalam ekonomi syariah lainnya yang mampu menampung peluang kondisi masyarakat Indonesia adalah instrumen keuangan sosial Islam, yaitu zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Sebagaimana disampaikan oleh CAF dalam laporan WGI 2018, Indonesia memiliki keunggulan dalam berinfak. Selanjutnya adalah bagaimana mengarahkan infak tersebut agar lebih terorganisir dengan baik melalui zakat dan wakaf.
Zakat merupakan instrumen unik yang memiliki petugas khusus dan didistribusikan untuk kalangan tertentu saja. Sementara wakaf merupakan instrumen yang mampu membantu pembangunan karena nilai yang dikandung tidak boleh berkurang sehingga pemanfaatannya dapat diperuntukkan untuk investasi yang bertahan lama seperti pembangunan berbagai infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia.
Berdasarkan sedikit uraian di atas, kehidupan sosial masyarakat Indonesia mampu membentuk gaya hidup termasuk dalam pola keuangan. Keuangan yang sesuai syariah telah menawarkan berbagai instrumen keuangan yang sesuai dengan fitrah, terutama kehidupan masyarakat Indonesia. Kehidupan tolong menolong, berinfak, dan menjadi volunteer untuk berbagai program kemasyarakatan sangat sesuai dengan skema berbagai instrumen keuangan syariah.
Irfan Syauqi Beik
Penulis adalah Direktur CIBEST IPB dan Pusat Kajian Strategis BAZNAS
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ekonomi syariah menunjukkan tren yang positif, yang diprediksi akan berlanjut di tahun 2019. Namun demikian, peningkatan tersebut masih menyisakan tantangan masih tingginya kesenjangan antara potensi ekonomi syariah dengan realitasnya di lapangan. Sebagai contoh, meski Indonesia adalah pasar konsumen makanan halal terbesar di dunia, namun pada sisi supply, masih belum mampu menembus 10 besar produsen makanan dan minuman halal terbesar di dunia berdasarkan data Global Islamic Economy Report 2018-2019. Padahal, data Bappenas (2018) menunjukkan bahwa ekspor produk halal Indonesia meningkat 19 persen sejak 2016 dengan proporsi yang telah mencapai angka 21 persen dari total ekspor secara keseluruhan.
Contoh lain, hingga saat ini pangsa pasar industri perbankan syariah masih berada di kisaran 5.8 – 6 persen dibandingkan dengan total aset perbankan nasional, dan total industri keuangan syariah baru memiliki pangsa pasar sekitar delapan persen dibandingkan industri keuangan konvensional secara keseluruhan. Demikian pula pada sektor zakat, meski tumbuh 25 kali lipat dalam lima belas tahun terakhir dan diprediksi bisa menembus Rp 7-8 triliun tahun ini, namun penghimpunan zakat masih belum mampu melewati angka 10 persen dari total potensi yang dimilikinya.
Dengan kondisi yang ada, dan dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia, maka Indonesia harus semakin serius mengembangkan ekonomi syariah. Karena itu, penulis berharap agar di tahun 2019 ini, upaya penguatan instrumen ekonomi syariah bisa semakin ditingkatkan. Paling tidak, ada empat hal yang perlu ditingkatkan dan menjadi concern kita bersama.
Pertama, penguatan dukungan regulasi. Ini adalah hal yang sangat mutlak dan fundamental. Ketika dukungan regulasi meningkat maka dampaknya dapat dirasakan pada penguatan peran instrumen dan institusi ekonomi syariah. Sebagai contoh, dari hasil analisis terhadap kinerja pengelolaan zakat di 30 provinsi, nilai Indeks Zakat Nasional (IZN) 2018 mencapai angka 0.51, naik dari 0.48 di tahun sebelumnya. Kenaikan ini dipicu oleh kenaikan angka Indeks Dimensi Makro IZN yang sangat signifikan, dari 0.28 pada tahun 2017 menjadi 0.40 pada tahun 2018. Dimensi makro ini merefleksikan kenaikan dukungan regulasi daerah dan anggaran daerah dalam pengembangan zakat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Keberadaan KNKS (Komite Nasional Keuangan Syariah) harus dioptimalkan untuk memperkuat aspek regulasi ini, apalagi KNKS juga telah memiliki direktur eksekutif sejak pertengahan bulan ini. Mudah-mudahan KNKS bisa segera beroperasi sesuai dengan mandat yang dimilikinya sehingga harapan penguatan dukungan regulasi dan kebijakan yang bisa mengarusutamakan ekonomi syariah dapat dicapai.
Kedua, penguatan kelembagaan dan SDM ekonomi syariah. Hal ini sangat penting karena sangat menentukan performa ekonomi syariah di 2019. Sebagai contoh, penguatan kapasitas industri makanan dan minuman halal. Dalam suatu seminar nasional di Jakarta belum lama ini, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan pentingnya menjadikan Indonesia sebagai produsen makanan dan minuman halal terbesar di dunia. Untuk mencapai hal tersebut, maka diantara faktor kuncinya adalah pengembangan kapasitas lembaga sertifikasi halal dan para pelaku industri makanan dan minuman halal.
Contoh lain adalah di dunia perzakatan. Pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan ini juga disadari oleh BAZNAS sebagai otoritas zakat nasional. Karena itu, BAZNAS telah mendirikan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Amil yang telah mendapatkan pengesahan BNSP, dan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat). Tujuannya agar standarisasi kinerja dan kapasitas institusi amil dapat terus menerus ditingkatkan sehingga pertumbuhan penghimpunan zakat maupun penguatan penyaluran zakat yang berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan mustahik bisa terus ditingkatkan. Diharapkan pada tahun 2019 ini akan semakin banyak amil yang disertifikasi, terutama yang berasal dari daerah, sehingga kualitas pengelolaan zakat bisa semakin merata di seluruh wilayah Indonesia.
Selanjutnya yang ketiga adalah edukasi publik mengenai pentingnya berekonomi secara syariah. Industri makanan dan minuman halal tidak akan berkembang jika tidak diikuti oleh edukasi mengenai pentingnya mengembangkan gaya hidup halal (halal lifestyle). Industri keuangan syariah akan jalan di tempat jika tidak diimbangi dengan upaya peningkatan literasi keuangan masyarakat melalui edukasi publik yang intensif. Karena itu, penulis berharap agar edukasi publik ini menjadi salah satu prioritas utama dalam rangka optimalisasi potensi ekonomi syariah di tahun 2019.
Sedangkan yang keempat adalah perlunya penguatan kajian dan riset yang bersifat aplikatif dan berorientasi pada kebijakan ekonomi syariah. Pengalaman penulis dalam pengembangan riset strategis perzakatan menunjukkan bahwa peran riset sangat penting dalam meningkatkan kualitas pengelolaan institusi zakat sekaligus menjadikan Indonesia sebagai poros utama gerakan zakat dunia. Karena itu, riset ini harus menjadi prioritas di 2019. Tidak mungkin Indonesia akan menjadi pusat ekonomi syariah dunia pada tahun 2024 jika tidak didukung oleh kajian-kajian dan riset-riset yang bersifat strategis. Wallaahu a’lam.